Latest News

Thursday, November 20, 2014

Tidak banyak orang tahu bahwa kebijakan subsidi itu seperti memakai narkoba.


Note:Tulisan bagus nih dari bro Made Supriatna (New Jersey), buat pencerahan bagi kaum yang mau berfikir:

"Akhirnya pemerintahan Jokowi mencabut sebagian subsidi BBM. Banyak orang marah. Harga-harga tentu akan naik. Inflasi akan meninggi. Orang diharuskan untuk memotong sana-sini pengeluarannya. Yang dulu sanggup makan pake daging di warung, sekarang mungkin harus dengan tempe tahu dan telur saja. Itu umpamanya.
Tidak banyak orang tahu bahwa kebijakan subsidi itu seperti memakai narkoba. Gampang sekali memulainya, sulit keluar dari jeratannya. Pemerintah Orde Baru memperkenalkannya pertama kali. Kabarnya karena daya beli masyarakat Indonesia rendah. Juga karena dirangsang industri otomotif yang mau masuk ke Indonesia. Jadilah BBM disubsidi. Indonesia masih pengekspor minyak kala itu. Terbukti, kebijakan ini sulit sekali dihilangkan. Orang menjadi mencandu akan BBM. Politisi akan mengeksploitasinya demi menjatuhkan lawannya. Borjuasi kecil yang bernama mahasiswa akan menjadi reaktif dan turun kejalan, bakar ban (pake bensin bersubsidi tentu!), dan tidak lupa berjaket alma-mater).
Mencabut subsidi BBM itu berat. Itu harus diakui. Banyak kawan bertanya pada saya, apakah harga bensin diluar negeri memang mahal? Politisi seperti Nurul Arifin dan Ibas (yang bapaknya sampe kencing dalem celana kalao disuruh mencabut subsidi BBM), memprotes karena harga BBM diluar negeri justru turun kok di Indonesia jadi naik? Jelas mereka sedang berusaha mencari poin politik dengan menyerang kebijakan administrasi Jokowi yang tidak populer ini.
Tapi bagaimanakah situasi di luar negeri? Kebetulan Bloomberg memberikan perspektif yang bagus tentang harga bensin di banyak negara. Menurut Bloomberg , harga bensin termahal itu di Norwegia: $9.79 per gallon atau $3.2 per liter (Rp 38.86 ribu)!
Lho kok Norwegia? Kan Norwegia itu penghasil minyak? Ya benar. Tapi pemerintahnya tidak mau tergantung dari minyak. Ini adalah negara yang sudah berpikir ke depan. Minyak adalah sumber energi tidak bisa diperbaharui. Karena itu, tidak bisa diandalkan. Norwegia memutuskan untuk mengambil keuntungan dari minyak untuk mensubsidi negara kesejahteraan. Sebagai gantinya, pemerintah mereka kasih pendidikan gratis; jaminan kesehatan; orang tua dilayanin dan dipelihara; orang tidak kerja dididik (bukan ditanggung untuk nganggur lho); anak-anak diperhatikan gizinya, dll.)
Negara kesejahteraan itu mahal sekali. Makanya, semuanya diminta berkorban. Orang dipaksa untuk tidak punya mobil tapi angkutan umum disediakan. Norwegia adalah negara dengan penduduk yang punya pendidikan terbaik di dunia. Bahkan saking welas asihnya negara ini, mereka menyumbang 1 milyar dollar ke Indonesia untuk kelestarian hutan tropis (Program REDD). Mereka sangat memperhatikan lingkungan.
Gambaran dari Bloomberg ini memberikan perspektif untuk melihat harga bensin di masing-masing negara. Disamping memberikan data harga bensin, dia juga memberikan semacam indeks harga bensin di satu negara. Kalo Sodara membacanya, ada beberapa elemen yang harus Sodara perhatikan. Misalnya, harga bensin; ranking tingkat kemahalan; ranking 'penderitaan' di pompa bensin. Yang paling menarik adalah di setiap negara dicantumkan berapa proporsi pendapatan per hari di pakai untuk membeli bensin. Norwegia, sekalipun merupakan negara dengan harga bensin termahal, tapi hanya 3,6 persen dari pendapatan penduduknya dalam sehari ($273) yang dipakai untuk membeli segallon (3 liter) bensin. Ini yang membikin ranking penderitaan mereka di pompa bensi ada di urutan ke 50.
Coba bandingkan dengan Pakistan, misalnya. Harga bensin disana adalah $4.08/gallon (Rp 16,320/liter). Tapi pendapatan penduduk Pakistan per hari adalah $3.55. Jadi walaupun orang Pakistan kerja seharian mereka tidak mampu beli segallon bensin.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum subsidi dicabut, harga bensin di Indonesia adalah Rp 6,500/liter. Pendapatan penduduk Indonesia $2 (Rp 24 ribu) per hari. Jadi kira-kira seperempat pendapatan dipakai untuk membeli bensin.
Data dari Bloomberg ini hanya memberikan perspektif tapi tidak memberikan gambaran yang utuh. Di Indonesia, mereka yang membeli bensin itu sudah termasuk kelas borjuis -- dari borjuis paling kecil sampe borjuis kelas ekspat. Kelas ini berpenghasilan $4-$20 per hari. Ini adalah kelas yang punya motor, punya TV, bisa nonton bioskop sebulan sekali, dll. Mereka adalah consumer class yang sedang tumbuh. Jika kita ambil lapisan paling bawah saja ($4), mereka berpenghasilan Rp 48 ribu/per hari. setelah kenaikan BBM ini, hanya 5.6% dari penghasilan mereka untuk selitar bensin; atau sekitar 16% untuk se-gallon (3 liter). Tidak buruk sebenarnya.
Persoalannya sekarang adalah apakah kita mau membakar uang negara kita untuk subsidi BBM ini? Apakah tidak lebih baik uang ini dipakai untuk membikin infrastrtuktur supaya aliran barang dan jasa bisa lebih lancar? Dengan begitu nadi ekonomi bisa bergerak lebih besar dan lebih cepat; efeknya adalah lebih banyak orang bisa bekerja; lebih banyak produksi dan konsumen juga tumbuh karena lebih banyak orang bekerja dan terima upah?
Tentu, sebagian orang akan mengatakan bahwa ini adalah pikiran neolib. Tapi, cobalah pikirkan. Welfare spending (pengeluaran untuk kesejahteraan) kita saat ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan jaman Orde Baru. Welfare spending adalah pengeluaran pemerintah untuk rumah sakit, puskesmas, perbaikan gizi anak, pendidikan, dan semua jaminan sosial untuk rakyat kebanyakan. Orde Baru mampu membikin welfare spending yang tinggi karena waktu itu kita masih punya banyak yang bisa dijual (hutan, minyak, tambang-tambang dll.). Haruskah uang seyogyanya untuk memperbaiki gizi anak-anak kita itu kita bakar di jalanan dalam bentuk kendaraan pribadi? Mengapa pula penghapusan subsidi ini tidak dipakai untuk membikin transportasi massal, misalnya?
Sialnya, hasil dari penghapusan subsidi ini butuh waktu lama untuk merealisasikannya. Sementara, hanya butuh waktu beberapa menit untuk membakar uang subsidi ini. Orang diharuskan berkorban dan kesakitan sebelum semua hasil penghapusan subsidi ini bisa dinikmati. Itulah beratnya. Itulah sebabnya tidak banyak politisi yang berani mengambil tindakan tidak populer ini."

No comments:

Post a Comment