alirantransparan.blogspot.co.id - Skenario Jokowi agar Ahok tetap menjadi DKI 1 untuk periode ke dua semakin terbuka lebar. Manufer SBY yang mengorbankan puteranya Agus menjadi calon Gubernur DKI 1 adalah jawabannya. Banyak orang mengira, bahwa penunjukkan Agus sebagai Cagub DKI, adalah taktik jitu SBY. Benarkah demikian?
Bagi yang paham mengenai intelijen, hal yang dilakukan SBY itu justru bermakna sebaliknya. SBY justru rela berkorban demi mewujudkan skenario Jokowi yang tetap menginginkan Ahok di DKI. Pasca �tour de Java� yang dihancurleburkan oleh Jokowi lewat geleng-geleng kepala di Hambalang, SBY akhirnya sadar bahwa tinggal menunggu waktu, peluru Jokowi akan ditembakkan kepadanya. Dan ini sangat ditakuti oleh SBY. SBY sangat ketakutan jika citranya di masa tuanya menjadi hancur.
Selama 10 tahun pemerintahannya, SBY tidak lepas dari bau busuk korupsi. Kasus Hambalang yang menyeret elit Demokrat adalah contohnya. Kasus Century yang tiada ujung adalah bukti tersembunyi. Keterlibatan keluarga Cikeas dalam kasus Century, terutama Ibas, akan semakin benderang jika Jokowi memberi lampu hijau kepada KPK. Namun, Jokowi tidak melakukan hal itu.
Mengapa?
Ada konsensi politik untuk saling melindungi di antara mantan Presiden. Selama 10 tahun SBY memerintah, KPK tidak pernah mendapat lampu hijau dari SBY untuk memeriksa mantan Presiden Megawati terkait kasus mega triliun BLBI. Kendati Abraham Samad, Ketua KPK paling fenomenal, ngotot untuk memeriksa Mega, namun SBY melakukan segala cara untuk menghalanginya.
Dan, memang begitulah sejarahnya. Walaupun Mega-SBY saling dendam selama 10 tahun, namun SBY tetap bersikukuh agar KPK jangan sampai memeriksa Mega. Alasannya, ia mantan Presiden. SBY sadar, bahwa akan tiba saatnya, ia juga menjadi mantan Presiden.
Sebelumnya, hal yang sama telah dilakukan oleh mantan Presiden Habibie, Gusdur, dan Megawati. Kendatipun Soeharto melakukan gurita korupsi selama 32 tahun, namun ketika menjadi Presiden, Mega tak pernah memberi perintah untuk mengusutnya. Inilah yang diteruskan oleh SBY. Selama sepuluh tahun ia menjadi RI-1, SBY tidak pernah mengeluarkan perintah mengusut para mantan Presiden sebelumnya termasuk Megawati. Namun, di era Jokowi, konsesi saling melindungi itu pudar.
Setelah lengser dari kursi Presiden, SBY menjadi ketakutan melihat kepala batu Jokowi. Kehebatan Jokowi yang memporakporaknda Koalisi Merah Putih (KMP) dan melengserkan beberapa ketua partai termasuk orang kuat Aburizal Bakri, telah menjadi pelajaran besar bagi SBY. Pun keberanian Jokowi yang sipil melebihi militer menenggelamkan lebih ratusan kapal asing pencuri ikan, membekukan PSSI, membubarkan Petral, telah menjadi catatan menakutkan bagi SBY.
Maka, ketika Jokowi menginginkan agar kursi DKI-1 tetap dijabat oleh Ahok demi kelanjutan kebijakannya, SBY pun mencari cara untuk mendukungnya. Namun, dengan cara di luar nalar publik. Tentu saja tidak ada makan siang gratis. SBY lewat instink militernya paham benar bahwa Jokowi kemungkinan besar akan menjabat sebagai Presiden untuk dua periode. Sebagai calon pengganti Jokowi, ada Ahok yang telah siap melanjutkan estafet pemerintahannya kelak.
Kalkulasi militer SBY itu, telah mendorongnya membuat keputusan paling menentukan setelah ia lengser dari kursi Presiden. Ia akhirnya berbalik mendukung Jokowi pasca koalisi kekeluargaan yang sempat dibangun di DKI kandas. SBY pun melakukan strategi ala militer yang mampu mengelabui publik. Ya, sebuah cara senyap ala jenderal militer. SBY rela mengorbankan anaknya Agus demi citranya dan keluarga besar Cikeas.
Publik pun paham bahwa demi citranya, SBY rela melakukan berbagai cara selama 10 tahun pemerintahannya, termasuk menelurkan beberapa album. Demi menjaga citranya, SBY rela mensubsidi hampir 300 Triliun BBM setiap tahun agar masyarakat tidak panik dan kemudian menyerang segala kebijakannya. SBY pun rela disebut sebagai Presiden yang paling sedikit membangun infrastruktur demi menjaga citranya agar duit APBN bisa digunakan untuk meninabobokan rakyat.
Lalu, apa tujuan SBY mengajukan puteranya sebagai cagub DKI? Bukankah puteranya Agus, sedang meniti karir cemerlang di militer?
Jawabannya adalah mengambil hati Jokowi sekaligus Ahok jika berhasil menjadi Presiden di negeri ini kelak. SBY jelas sedang mengirim pesan nyata kepada Jokowi dan Ahok, agar ke depannya tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalunya karena ia telah membayar mahal untuk itu.
Publik mungkin berpikir bahwa SBY sedang menantang Jokowi lewat puteranya Agus. Namun alasan di balik itu sebetulnya adalah sedang terjadi skenario SBY yang memuluskan keinginan Jokowi di DKI. SBY paham bahwa puteranya Agus bukanlah lawan yang sepadan untuk menantang Ahok. Ahok jelas akan mudah mengalahkan Agus. Dengan memasang puteranya Agus dan bukan calon yang lain, maka Ahok akan dengan mudah menang di DKI. Inilah yang harus diingat oleh Jokowi-Ahok kelak. Jokowi harus mengingat pengorbanan besar SBY.
Tentu saja demi mewujudkan skenario Jokowi di DKI itu, SBY rela memberikan harapan palsu kepada Yusril yang sebetulnya sudah hampir matang dipasangkan dengan Syaefullah. Dari berbagai survei, elektabilitas Yusril jauh lebih tinggi daripada Agus. Akan tetapi SBY tidak melakukan itu. Partai-partai pengusung Agus-Silvie memberi alasan bahwa Yusril tidak bisa diusung karena dia juga adalah ketua partai.
Saat Ahok melakukan taktik �bakar diri� dengan menyerempet Surat Almaidah ayat 51 itu, SBY secara diam-diam mendorong FPI dan Amin Rais untuk ikut melakukan demo besar-besaran untuk menjatuhkan Ahok. Mengapa? Jelas bukan untuk menjatuhkan Ahok. Namun untuk membuat publik agar semakin jijik kepada FPI yang bisa berakibat buruk kepada PAN-nya Amin Rais sebagai pengusung Agus-Sylvie.
Dengan anggapan demikian, maka simpati publik akan berpaling kepada Ahok yang terbukti difitnah oleh potongan video Buni Yani. Inilah yang diinginkan oleh SBY. Dengan anggapan demikian juga, maka jalan Ahok menuju DKI-1 akan semakin mulus.
Jika pus tidak terlihat gencar membagikan sembako kepada masyarakat miskin kota. Agus hanya menebar janji-janji manis yang sebetulnya biasa dilakukan oleh politisi manapun. Agus terlihat tidak melakukan cara yang luar biasa, untuk melawan citra Ahok.
Bukan tidak mungkin, orang kepercayaan Ahok, Sylvie, sengaja dipasangkan dengan Agus. Dan Ahok paham benar skenario itu. Itulah sebabnya Ahok enggan menyerang Sylviana. Hal berbeda misalnya ketika Syaefullah dipasangkan dengan Yusril. Ketika Syaefullah baru dicanangkan untuk dipasangkan dengan Yusril, Ahok sudah getol menyerang keduanya. Akan tetapi Ahok sama sekali enggan menyerang Agus-Sylviana.
Masuknya Sri Mulyani sebagai Menteri Jokowi adalah salah satu bargain politik cerdas Jokowi �SBY. Dengan Sri Mulyani yang pernah menjadi menteri era SBY, maka segala macam yang berbau pajak keluarga Cikeas tidak akan diganggu gugat. Terbukti, SBY dan keluarganya sampai sekarang tidak pernah diberitakan ikut program Tax Amnesty. SBY yakin bahwa ke depan ia percaya dengan konsesi politiknya dengan Jokowi. Dan ini juga disetujui oleh Jokowi sepanjang rencana besarnya tidak diganggu.
Bagi Jokowi sendiri, konsesi untuk tidak mengganggu gugat SBY yang telah menjadi mantan Presiden akan bisa dijamin selama SBY tidak bertingkah macam-macam. Tentu saja syaratnya, SBY harus mendukung Jokowi di DKI secara diam-diam. Masuknya Ruhut Sitompul dan Hayono Isman sebagai pendukung Ahok adalah bukti cerdas SBY untuk mengelabui publik. Ruhut seolah-olah dibuat menentang SBY, padahal sebetulnya ia adalah kiriman SBY kepada Jokowi-Ahok.
Konsesi politik Jokowi-SBY semakin terikat kuat ketika SBY akhirnya mengambil terobosan luar biasa untuk mengusung puteranya sendiri menjadi calon gubernur DKI. Padahal, menurut para pengamat, Agus disebut masih anak ingusan (Ikrar Nusa Bhakti), kurang bijaksana (Emrus Sihombing), figur yang akan kalah (Veri Muhlis dari Lembaga Survey Konsep Indonesia).
Lalu, bagaimana dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno? Pemecatan Anis dari kursi menteri Jokowi, lalu menyamar jadi usungan Gerinda-PKS bisa jadi adalah bagian dari misi Jokowi di DKI. Jika akhirnya Anis sukses melakukan tugasnya untuk menyusup dalam Pilkada DKI, maka setelah Pilkada DKI 2017 mendatang, Anis bisa saja kembali dipanggil menjadi menteri oleh Jokowi sama seperti perlakuannya kepada Ignasius Jonan dan Arcanda Tahar.
Kalau demikian, maka Pilkada 2017 mendatang adalah hanya dagelan politik tingkat tinggi antara Jokowi-SBY-Anis Baswedan. Dengan kata lain lewat dagelan itu, SBY wujudkan skenario Jokowi untuk membuat jalan Ahok menuju DKI-1 mulus.(Asaaro Lahagu via sorasirulo.com)