Latest News

Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Wednesday, October 26, 2016

Ketika Politik Menyeret Agama, Jadilah Fatwa Haram Pilih Bu Mega, Gus Dur Hingga Koh Ahok







alirantransparan.blogspot.co.id - Dulu, "mereka" ramai-ramai menolak Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI karena menurut mereka, dalam Islam, seorang perempuan "haram" menjadi pemimpin politik apalagi memimpin sebuah negara.
Berbagai dalil mereka kumpulkan untuk mendukung pendapat-pendapat mereka. Berbagai fatwa pun mereka himpun untuk menyokong argumen-argumenya.

Meskipun Bu Mega jelas beragama Islam, mereka tidak peduli. Bahkan mereka menuding Bu Mega itu "Islam Hindu" hanya karena sang ayah memiliki hubungan sejarah dengan Bali.

Dulu pula, "mereka" ramai-ramai menentang, menolak, dan menjegal KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Presiden RI. Kali ini alasan pengharaman mereka karena Gus Dur buta.

Menurut mereka, dalam Islam, seorang pemimpin negara tidak boleh memiliki "cacat fisik". Lagi-lagi mereka menghimpun berbagai teks, dalil, dan fatwa untuk mendukung, memperkuat, dan melegitimasi pendapat dan sikapnya.



Padahal Gus Dur seorang tokoh Muslim terkenal di seantero jagat, pemimpin ormas Islam terbesar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama (NU), kiai yang sangat mumpuni wawasan keislamannya, berpuluh-puluh tahun belajar Islam di pesantren, Mesir, dan Irak, ahli Bahasa Arab dan kitab-kitab keislaman, putra seorang mantan Menteri Agama dan pejuang bangsa (KH A. Wahid Hasyim), cucu seorang ulama besar, pahlawanan nasional, dan pendiri NU (Syeikh Hasyim Asy'ari). Kurang apa coba "Islam"-nya Gus Dur? Kenapa mereka tolak juga?
Dulu pula, meski tidak terlalu dulu, mereka juga ramai-ramai menentang dan menolak Pak Jokowi.

Kali ini alasannya karena beliau seorang "Islam abangan" lah, "Islam KTP" lah, "Islam Kejawen" lah, tidak bisa mengucapkan kalimat "as-salamu alaikum warahmatullah wa barakatuh" dengan fasih, apalagi ngomong Bahasa Arab.

Jika Bu Mega dituduh dekat dengan Hindu, Pak Jokowi dituduh dekat dengan Kristen. Dekat dengan Kristen saja dipersoalkan apalagi Kristen beneran. Lagi-lagi, seperti biasa, mereka mengumpulkan sejumlah dalil untuk menyokong pendapat dan argumentasinya.

Sekarang, mereka ramai-ramai lagi gerudag-geruduk kesana-kemari. Kali ini targetnya Koh Ahok.

Lebih brutal lagi serangan mereka ke Ahok karena si Koh ini sudah Cina, Kristen pula.

Karena berstatus "minoritas ganda", Koh Ahok lebih mudah jadi target empuk kampanye hitam oleh para pecundang agama dan politik ini.

Berbagai dalil tumpah-ruah dikutip untuk mendukung pendapat, argumen, sikap, dan tindakan gelap-mata dan membabi buta mereka.

Para mafia agama dan politik inipun rajin konsolidasi dan kusak-kusuk untuk menjegal Ahok.

Uniknya atau lucunya, kenapa "mereka" tidak mempersoalkan Pak SBY, Pak Wiranto, atau Pak Prabowo Subiyanto? Bukankah mereka, sebagaimana Bu Mega dan Pak Jokowi, juga sama-sama "Muslim abangan"??

Jadi, masihkah anda percaya, kalau apa yang "mereka" lakukan itu "atas nama" atau "demi membela" Islam"?? (
Sumanto Al Qurtuby)

Klarifikasi Buya Syafii di Acara ILC: Hargailah Perbedaan. Jangan Seret Nama Tuhan untuk Urusan Politik




alirantransparan.blogspot.co.id - Presiden Lawyers Club Karni Ilyas pada 11 Oktober 2016 mengundang saya untuk beri komentar tentang heboh pernyataan Ahok yang dituduh menista ayat 51 surat al-Maidah saat kunjungan ke Pulau Seribu. Dari studio TV One Yogyakarta malam itu undangan itu saya penuhi. Sempat kesal sebentar karena tidak bisa segera berkomunikasi dengan Bung Karni lantaran audio-visualnya rewel. Nyaris saja saya mau pulang. Kemudian pulih kembali, tetapi saya tidak sempat mengikuti pendapat-pendapat keras yang ingin memperkarakan Ahok, sekalipun yang bersangkutan sudah minta maaf jika telah menyinggung perasaan sementara umat Islam.

Tuturan saya malam itu yang berbunyi �Ahok bukan orang jahat� ternyata telah menuai kutukan beruntun terhadap saya dari berbagai pihak, khususnya di dunia maya. Saya langsung dituduh membela Ahok. Kutukan itu umumnya sangat kasar dan biadab, termasuk dari mereka yang mengaku dari kalangan Muhammadiyah dan warga Minang. Tetapi yang membela saya juga berjibun dari mereka yang telah mengenal saya dari jarak yang dekat.

Perkiraan saya, suasana panas ini tentu bertalian dengan Pilkada DKI Februari 2017, di mana Ahok sebagai petahana ingin maju lagi berhadapan dengan dua pasangan lainnya. Kemudian ada lagi pernyataan saya: �tidak begitu mengenal Ahok,� langsung di dunia maya ditampilkan gambar saya yang sedang makan di kantor Gubernur DKI, lalu dilontarkanlah tuduhan pembohong kepada saya. Gambar Desember 2015 itu sudah lama beredar dan sudah dijelaskan konteksnya.

Masalahnya sederhana saja. Maksudnya saya tidak mengenal Ahok luar-dalam, kenal sekadarnya saja. Tetapi karena dinilai lunak, tidak sejalan dengan arus keras yang sedang bersemangat dalam Lawyers Club itu, maka jadilah saya dituduh sebagai seorang pembohong. Bahkan seorang mantan menteri mengomentari gambar saya bersama Ahok itu �baru diajak makan malam saja sudah ngeloyor.� Rupanya di mata teman ini, harga saya demikian murah. Inilah risikonya, sekali orang memasuki ranah pinggir politik kekuasaan, tafsirannya menjadi liar tak terkendali.

Tetapi berbagai kutukan telah berulang kali dialamatkan kepada saya di masa lalu dalam menghadapi berbagai peristiwa. Ingat awal tahun 2015, saat terjadi ketegangan antara KPK dan BG, saya sebagai Ketua TIM 9, telah diserang dengan nada sangat keras oleh sementara politisi dan oknum jenderal polisi. Dalam perjalanan waktu, publik pada akhirnya bisa menilai siapa yang waras dan siapa pula yang kurang waras. Bahkan Jenderal Tito Karnavian sudah tiga kali tahun ini saja bersama rombongan berkunjung ke rumah saya di Yogya, belum lagi Komjen Suhardi Alius yang pernah dituduhkan sebagai keponakan saya telah beberapa kali datang ke rumah. Saya rasa polisi yang waras tidak punya kecurigaan apa pun pada sikap kebangsaan saya yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pribadi.

Oleh sebab itu tuduhan kepada saya membela Ahok rasanya salah alamat, dan tidak akan pernah mempan. Saya bukanlah sejenis orang oportunis, mengais cari makan dengan mengorbankan martabat kemanusiaan saya. Dalam istilah Alquran, tuduhan itu barangkali tidak lebih dari al-zabad, buih sebagai lambang kebatilan, tidak punya hakekat. Akan sirna secara sia-sia. Mari kita saling menghargai dalam perbedaan, karena di sanalah bertenggernya nilai kemanusiaan yang tertinggi. Jangan habiskan energi bagi desakan kepentingan politik sesaat dengan menyeret nama Tuhan, karena cara semacam itu jauh dari kearifan.

Bukankah gejala Ahok ini sebagai pertanda keras dari kegagalan partai-partai Muslim menampilkan pemimpin yang dipercaya rakyat? Belajarlah berfikir jernih. Dan saya akan sangat mendukung sikap agar bangsa ini, khususnya Presiden Jokowi dan Ahok agar mewaspadai bahaya kekuatan kuning yang semakin menguasai dunia ekonomi Indonesia. Jika cengkeraman ini semakin tidak terbendung, akibatnya sudah pasti: nasib Nawacita yang ingin berdikari di bidang ekonomi akan lumpuh di ujung perjalanan.

Kita sedang berada di persimpangan jalan dalam masalah berat ini. Dengan semakin mendekatnya Presiden Filipina Rodrigo Duterte ke kubu Beijing seraya mengucapkan sayonara kepada patron tradisionalnya Amerika Serikat, maka politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sedang dihadapkan kepada ujian berat yang kritikal. Oleh sebab itu, dari pada menguras energi untuk mengutuk seseorang, akan lebih elok untuk memandang dengan tajam nasib bangsa ini ke depan yang bisa kehilangan kedaulatannya. Hilangnya kedaulatan sama maknanya dengan pengkhianatan terbuka terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.(sangpencerah.id)

Monday, October 24, 2016

Jokowi Bekerja Tanpa Berpikir, Fahri Hamzah Berpikir dan Berkhayal" Tanpa Bekerja



alirantransparan.blogspot.co.id - Berkaitan pernyataan Fahri Hamzah bahwa selama 2 tahun kepemimpinan Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia �bekerja tanpa berpikir sehingga arah dari pemerintahan Jokowi-JK menjadi tidak jelas� (sumber: tribunnews.com)

Bagaimana mungkin orang bekerja tanpa berpikir kecuali �Manusia Bekerja Pasti Berpikir Dulu, Sebaliknya Berpikir Belum Tentu Bekerja�.

Jadi, mustahil ada orang bekerja tanpa berpikir kecuali orang tersebut mengalami penyakit gila, pikun, penyakit lain dan sebagainya yang mengganggu pikiran, apakah hasil kerjanya baik atau tidak baik tentu akan diketahui setelahnya.

Yang pasti, orang berpikir atau berkhayal tanpa bekerja sering dijumpai seperti yang dialami Fahri sendiri, contoh berikut : Pembubaran KPK Fahri pernah mengusulkan pembubaran lembaga KPK dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPK, dengan alasan bahwa sebuah negara yang menganut sistem demokrasi tidak boleh ada lembaga yang sangat kuat atau superbody sehingga berpotensi tak bisa diawasi.

Berharap KPK dibubarkan tetapi kenyataannya sampai hari ini tidak bubar, Fahri hanya bisa berkhayal seandainya KPK dibubarkan atau terutama revisi pelemahan UU penyadapan terealisasi maka mungkin mudah bagi Fahri melakukan korupsi seperti yang dilakukan mantan bosnya, eks Presiden PKS Lutfi Hasan Ishak.

Fahri Hamzah terus berpikir/berkhayal tanpa bekerja bagaimana mempreteli KPK, namun �apa nak dikata� hanya mulutnya yang bekerja untuk melampiaskan nafsu birahi politiknya hingga mencapai puncak klimaks yang dipenuhi dendam politik.

style="font-family: Helvetica Neue, Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: large;">
Wakil Ketua DPR Independen Atas prilakunya yang asal bunyi alias berkhayal tanpa bekerja, Fahri harus menerima pil pahit dipecat secara permanen dari Partai PKS. Tidak satupun atribut PKS yang tersisa, bahkan kalau ada celana dalam �made in PKS� pun harus dilucuti.

Tidak tinggal diam, Fahri melawan dengan mengajukan gugatan dan masih berproses sehingga statusnya tidak jelas, tidak sejelas pekerjaannya sebagai anggota DPR independen pertama di Indonesia.

Jadi, Fahri tetap berkhayal sebagai wakil ketua DPR independen tanpa perlu bekerja. Kalau pun bekerja, hasil kerjanya untuk siapa dan atas nama siapa ? sungguh tidak jelas, digaji dari uang rakyat hanya sia-sia, lebih tepat mengkhayal makan gaji buta.

Prestasi apa yang dihasilkan Fahri Hamzah sebagai wakil ketua DPR independen ? Selama 2 tahunan bekerja di DPR, tidak jelas target UU yang dihasilkan per tahun kecuali prestasi yang ditoreh adalah dipecat dari PKS dan mencetak rekor manusia pertama sebagai anggota (Wakil Ketua) DPR independen.

Jadi, apa yang dihasilkan Fahri Hamzah selama 2 tahun bekerja di DPR RI hanya berpikir tanpa bekerja, cukup dengan memperluas khayalannya meraih mimpi. Banyak khayalan yang perlu diraih Fahri seperti mengikuti jejak Mantan Presiden PKS Anis Matta yang memiliki istri impor (hungaria) ke dua

Ahmad Fathanah yang memiliki banyak wanita idaman

Atau memiliki istri "daun" muda yang sedang sekolah seperti yang dilakukan Lutfi Hasan Ishak.

Jika angan-angan atau khayalan tersebut tercapai, Fahri hanya butuh berpikir tanpa bekerja bagaimana tehnik mencetak keturunan sebanyak-banyaknya. (kompasiana, wara katumba)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/warakatumba/jokowi-bekerj

Sunday, October 23, 2016

Benarkah SBY Korbankan Agus Demi Wujudkan Skenario Jokowi Muluskan Ahok di DKI 1? Jawaban Ini Sangat Mencengangkan!




alirantransparan.blogspot.co.id - Skenario Jokowi agar Ahok tetap menjadi DKI 1 untuk periode ke dua semakin terbuka lebar. Manufer SBY yang mengorbankan puteranya Agus menjadi calon Gubernur DKI 1 adalah jawabannya. Banyak orang mengira, bahwa penunjukkan Agus sebagai Cagub DKI, adalah taktik jitu SBY. Benarkah demikian?



Bagi yang paham mengenai intelijen, hal yang dilakukan SBY itu justru bermakna sebaliknya. SBY justru rela berkorban demi mewujudkan skenario Jokowi yang tetap menginginkan Ahok di DKI. Pasca �tour de Java� yang dihancurleburkan oleh Jokowi lewat geleng-geleng kepala di Hambalang, SBY akhirnya sadar bahwa tinggal menunggu waktu, peluru Jokowi akan ditembakkan kepadanya. Dan ini sangat ditakuti oleh SBY. SBY sangat ketakutan jika citranya di masa tuanya menjadi hancur.


Selama 10 tahun pemerintahannya, SBY tidak lepas dari bau busuk korupsi. Kasus Hambalang yang menyeret elit Demokrat adalah contohnya. Kasus Century yang tiada ujung adalah bukti tersembunyi. Keterlibatan keluarga Cikeas dalam kasus Century, terutama Ibas, akan semakin benderang jika Jokowi memberi lampu hijau kepada KPK. Namun, Jokowi tidak melakukan hal itu.


Mengapa?


Ada konsensi politik untuk saling melindungi di antara mantan Presiden. Selama 10 tahun SBY memerintah, KPK tidak pernah mendapat lampu hijau dari SBY untuk memeriksa mantan Presiden Megawati terkait kasus mega triliun BLBI. Kendati Abraham Samad, Ketua KPK paling fenomenal, ngotot untuk memeriksa Mega, namun SBY melakukan segala cara untuk menghalanginya.

Dan, memang begitulah sejarahnya. Walaupun Mega-SBY saling dendam selama 10 tahun, namun SBY tetap bersikukuh agar KPK jangan sampai memeriksa Mega. Alasannya, ia mantan Presiden. SBY sadar, bahwa akan tiba saatnya, ia juga menjadi mantan Presiden.


Sebelumnya, hal yang sama telah dilakukan oleh mantan Presiden Habibie, Gusdur, dan Megawati. Kendatipun Soeharto melakukan gurita korupsi selama 32 tahun, namun ketika menjadi Presiden, Mega tak pernah memberi perintah untuk mengusutnya. Inilah yang diteruskan oleh SBY. Selama sepuluh tahun ia menjadi RI-1, SBY tidak pernah mengeluarkan perintah mengusut para mantan Presiden sebelumnya termasuk Megawati. Namun, di era Jokowi, konsesi saling melindungi itu pudar.


Setelah lengser dari kursi Presiden, SBY menjadi ketakutan melihat kepala batu Jokowi. Kehebatan Jokowi yang memporakporaknda Koalisi Merah Putih (KMP) dan melengserkan beberapa ketua partai termasuk orang kuat Aburizal Bakri, telah menjadi pelajaran besar bagi SBY. Pun keberanian Jokowi yang sipil melebihi militer menenggelamkan lebih ratusan kapal asing pencuri ikan, membekukan PSSI, membubarkan Petral, telah menjadi catatan menakutkan bagi SBY.


Maka, ketika Jokowi menginginkan agar kursi DKI-1 tetap dijabat oleh Ahok demi kelanjutan kebijakannya, SBY pun mencari cara untuk mendukungnya. Namun, dengan cara di luar nalar publik. Tentu saja tidak ada makan siang gratis. SBY lewat instink militernya paham benar bahwa Jokowi kemungkinan besar akan menjabat sebagai Presiden untuk dua periode. Sebagai calon pengganti Jokowi, ada Ahok yang telah siap melanjutkan estafet pemerintahannya kelak.


Kalkulasi militer SBY itu, telah mendorongnya membuat keputusan paling menentukan setelah ia lengser dari kursi Presiden. Ia akhirnya berbalik mendukung Jokowi pasca koalisi kekeluargaan yang sempat dibangun di DKI kandas. SBY pun melakukan strategi ala militer yang mampu mengelabui publik. Ya, sebuah cara senyap ala jenderal militer.  SBY rela mengorbankan anaknya Agus demi citranya dan keluarga besar Cikeas.


Publik pun paham bahwa demi citranya, SBY rela melakukan berbagai cara selama 10 tahun pemerintahannya, termasuk menelurkan beberapa album. Demi menjaga citranya, SBY rela mensubsidi hampir 300 Triliun BBM setiap tahun agar masyarakat tidak panik dan kemudian menyerang segala kebijakannya. SBY pun rela disebut sebagai Presiden yang paling sedikit membangun infrastruktur demi menjaga citranya agar duit APBN bisa digunakan untuk meninabobokan rakyat.


Lalu, apa tujuan SBY mengajukan puteranya sebagai cagub DKI? Bukankah puteranya Agus, sedang meniti karir cemerlang di militer?


Jawabannya adalah mengambil hati Jokowi sekaligus Ahok jika berhasil menjadi Presiden di negeri ini kelak. SBY jelas sedang mengirim pesan nyata kepada Jokowi dan Ahok, agar ke depannya tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalunya karena ia telah membayar mahal untuk itu.


Publik mungkin berpikir bahwa SBY sedang menantang Jokowi lewat puteranya Agus. Namun alasan di balik itu sebetulnya adalah sedang terjadi skenario SBY yang memuluskan keinginan Jokowi di DKI. SBY paham bahwa puteranya Agus bukanlah lawan yang sepadan untuk menantang Ahok. Ahok jelas akan mudah mengalahkan Agus. Dengan memasang puteranya Agus dan bukan calon yang lain, maka Ahok akan dengan mudah menang di DKI. Inilah yang harus diingat oleh Jokowi-Ahok kelak. Jokowi harus mengingat pengorbanan besar SBY.


Tentu saja demi mewujudkan skenario Jokowi di DKI itu, SBY rela memberikan harapan palsu kepada Yusril yang sebetulnya sudah hampir matang dipasangkan dengan Syaefullah. Dari berbagai survei, elektabilitas Yusril jauh lebih tinggi daripada Agus. Akan tetapi SBY tidak melakukan itu. Partai-partai pengusung Agus-Silvie memberi alasan bahwa Yusril tidak bisa diusung karena dia juga adalah ketua partai.


Saat Ahok melakukan taktik �bakar diri� dengan menyerempet Surat Almaidah ayat 51 itu, SBY secara diam-diam mendorong FPI dan Amin Rais untuk ikut melakukan demo besar-besaran untuk menjatuhkan Ahok. Mengapa? Jelas bukan untuk menjatuhkan Ahok. Namun untuk membuat publik agar semakin jijik kepada FPI yang bisa berakibat buruk kepada PAN-nya Amin Rais sebagai pengusung Agus-Sylvie.


Dengan anggapan demikian, maka simpati publik akan berpaling kepada Ahok yang terbukti difitnah oleh potongan video Buni Yani. Inilah yang diinginkan oleh SBY. Dengan anggapan demikian juga, maka jalan Ahok menuju DKI-1 akan semakin mulus.


Jika pus  tidak terlihat gencar membagikan sembako kepada masyarakat miskin kota. Agus hanya menebar janji-janji manis yang sebetulnya biasa dilakukan oleh politisi manapun. Agus terlihat tidak melakukan cara yang luar biasa, untuk melawan citra Ahok.


Bukan tidak mungkin, orang kepercayaan Ahok, Sylvie, sengaja dipasangkan dengan Agus. Dan Ahok paham benar skenario itu. Itulah sebabnya Ahok enggan menyerang Sylviana. Hal berbeda misalnya ketika Syaefullah dipasangkan dengan Yusril. Ketika Syaefullah baru dicanangkan untuk dipasangkan dengan Yusril, Ahok sudah getol menyerang keduanya. Akan tetapi Ahok sama sekali enggan menyerang Agus-Sylviana.



Masuknya Sri Mulyani sebagai Menteri Jokowi adalah salah satu bargain politik cerdas Jokowi �SBY. Dengan Sri Mulyani yang pernah menjadi menteri era SBY, maka segala macam yang berbau pajak keluarga Cikeas tidak akan diganggu gugat. Terbukti, SBY dan keluarganya sampai sekarang tidak pernah diberitakan ikut program Tax Amnesty. SBY yakin bahwa ke depan ia percaya dengan konsesi politiknya dengan Jokowi. Dan ini juga disetujui oleh Jokowi sepanjang rencana besarnya tidak diganggu.


Bagi Jokowi sendiri, konsesi untuk tidak mengganggu gugat SBY yang telah menjadi mantan Presiden akan bisa dijamin selama SBY tidak bertingkah macam-macam. Tentu saja syaratnya, SBY harus mendukung Jokowi di DKI secara diam-diam. Masuknya Ruhut Sitompul dan Hayono Isman sebagai pendukung Ahok adalah bukti cerdas SBY untuk mengelabui publik. Ruhut seolah-olah dibuat menentang SBY, padahal sebetulnya ia adalah kiriman SBY kepada Jokowi-Ahok.


Konsesi politik Jokowi-SBY semakin terikat kuat ketika SBY akhirnya mengambil terobosan luar biasa untuk mengusung puteranya sendiri menjadi calon gubernur DKI. Padahal, menurut para pengamat,  Agus disebut masih anak ingusan  (Ikrar Nusa Bhakti), kurang bijaksana (Emrus Sihombing),  figur yang akan kalah (Veri Muhlis dari Lembaga Survey Konsep Indonesia).


Lalu, bagaimana dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno? Pemecatan Anis dari kursi menteri Jokowi, lalu menyamar jadi usungan Gerinda-PKS bisa jadi adalah bagian dari misi Jokowi di DKI. Jika akhirnya Anis sukses melakukan tugasnya untuk menyusup dalam Pilkada DKI, maka setelah Pilkada DKI 2017 mendatang, Anis bisa saja kembali dipanggil menjadi menteri oleh Jokowi sama seperti perlakuannya kepada Ignasius Jonan dan Arcanda Tahar.


Kalau demikian, maka Pilkada 2017 mendatang adalah hanya dagelan politik tingkat tinggi antara Jokowi-SBY-Anis Baswedan. Dengan kata lain lewat dagelan itu, SBY wujudkan skenario Jokowi untuk membuat jalan Ahok menuju DKI-1 mulus.(Asaaro Lahagu via sorasirulo.com)

Menolak Lupa! Indonesia Pernah Dipimpin Seorang Perdana Menteri Beragama Kristen, tidak Ada Heboh Surat Al Maidah




alirantransparan.blogspot.co.id - Kali ini kami ambil sebuah tulisan bagus mengenai arti toleransi pada  jaman itu yang sangat berbeda dengan keadaan saat ini.

 Kini toleransi diartikan begini.

"Memilih pemimpin yang seagama dengan kami adalah bagian dari ajaran agama kami. Maka biarkan kami memilih. Kalau kalian benar-benar toleran, kalian tidak boleh merecoki kami." 

Itu terdengar seperti benar. Tapi faktanya, itu hanya menunggangi toleransi. Kenapa? Karena itu diucapkan oleh orang-orang yang tidak toleran. Mereka tidak menolerir adanya tafsir lain. 

Mereka bersikukuh bahwa memilih pemimpin atau jelasnya kepala daerah non muslim itu haram hukumnya, dan hanya itulah satu-satunya hukum. Di luar itu tidak islami, ingkar kepada Allah, dan seterusnya.

Jadi ini ucapan manusia culas, mengatasnamakan toleransi.

Kedua, cara itu bukan cara Indonesia.

Cara Indonesia adalah memilih siapapun jadi pemimpin atas dasar kepentingan negara, bukan ajaran agama.

Orang-orang itu lupa bahwa perdana menteri kedua dalam sejarah Indonesia adalah Amir Sjarifudin Harahap, seorang Kristen. Apakah ulama-ulama Islam zaman itu tidak paham Al-Maidah 51, sehingga mereka tidak menolaknya? 

Bukan. Mereka meletakkan keindonesiaan di atas keislaman. Karena itu pulalah maka mereka mencoret 7 kata yang secara spesifik menyebut Islam dalam Piagam Jakarta, menjadikannya Pancasila yang kini menjadi dasar negara kita.

Yang mereka sebut toleransi adalah keinginan untuk menang sendiri. Kalau mereka mau menguasai, mereka pakai jargon toleransi.(Kang Hasan)

Saturday, October 22, 2016

Arbi Sanit: Pendukung Ahok Itu Rasional Bukan Dari Kalangan Fanatik




Indoheadlinenewscom - Mencuatnya isu SARA jelang Pilkada DKI 2017, menurut pengamat dari Universitas Indonesia Arbi Sanit, tidak akan berpengaruh banyak terhadap arah dukungan masyarakat Jakarta kepada kandidat yang akan memperebutkan kursi DKI satu.
Perdebatan soal SARA yang terjadi di ibukota selama ini, disebut Arbi, adalah antara mereka yang fanatik dan kalangan yang rasional.

�Yang berdebat ini adalah orang-orang fanatik melawan orang-orang yang rasional. Namun isu SARA tidak akan berpengaruh banyak terhadap Pilkada,� kata Arbi kepada Netralnews.com, Rabu (19/10/2016).



Menurut Arbi, karena masyarakat Jakarta lebih didominasi oleh mereka yang rasional dibanding fanatik, sehingga peluang calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), jauh lebih besar memenangkan Pilkada, ketimbang dua kandidat lainnya, yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan.
�Jadi Ahok tidak bergantung pada orang-orang fanatik ini, karena pemilih Ahok adalah orang-orang rasional dan kelas menengah. Mereka adalah anak-anak muda, orang-orang cerdas, dan mereka yang ekonominya baik. Mereka sejalan dengan Ahok,� ujarnya.

�Karena kelas menengah ini ingin pembangunan, ingin Jakarta maju dan modern, ingin ekonomi tumbuh, dan untuk kehidupan menjadi baik,� ungkapnya.(netralnews.com)

Lebih jauh Arbi menjelaskan, hal itu dapat dilihat dari sejumlah lembaga survei yang kredibel, di mana elektabilitas Ahok masih menduduki posisi teratas.

�Hal itu dapat dilihat dari survei di mana Ahok selalu menang. Itu membuktikan lebih banyak orang yang rasional. Ini sebagai bukti isu SARA tidak terlalu berpengaruh,� tutupnya.(netralnews.com)