Latest News

Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Thursday, September 11, 2014

�Bom Waktu� dan Tantangan Buat Pemerintah Baru Jokowi-JK

Satrio-arismunandar-

�Bom Waktu� dan Tantangan Buat Pemerintah Baru Jokowi-JK


Dijadikannya Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jero Wacik, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 3 September 2014, cukup mengejutkan dari segi timing atau waktu penetapan. Hal ini karena terjadi pada hanya dua bulan sebelum berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, penetapan tersangka terhadap Jero Wacik itu bukan sama sekali tidak terduga. Hal itu jelas jika kita mengikuti langkah KPK sebelumnya. KPK telah mengembangkan penyidikan kasus suap yang menimpa Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Penetapan Jero Wacik sebagai tersangka adalah hasil dari pengembangan kasus KPK tersebut.
Penetapan status tersangka KPK atas Jero Wacik, yang juga Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, partai yang didirikan dan dipimpin SBY, menjadi pukulan terakhir bagi pemerintahan SBY dan Partai Demokrat. Inilah �kenang-kenangan terakhir� yang mungkin diingat publik dari pemerintahan SBY, meski SBY dengan susah payah telah berusaha menghindarkan �kenangan buruk� terhadap pemerintahannya.
Demi �citra baik,� SBY memilih tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden RI. SBY tidak ingin dikenang sebagai Presiden yang menaikkan harga BBM, kebijakan yang tidak populer dan biasanya menimbulkan aksi protes serta perdebatan pro-kontra sengit, di penghujung masa jabatannya.
Padahal SBY dan tim ekonominya tahu betul, berdasarkan tren konsumsi BBM bersubsidi yang bisa diprediksi cukup akurat, pada Oktober 2014 kuota subsidi BBM akan jebol. Tak ada lagi alokasi anggaran untuk subsidi BBM. Artinya, subsidi BBM untuk konsumsi November-Desember 2014 adalah nol rupiah. Jika anggaran negara mau diselamatkan, rakyat akan dipaksa untuk mengkonsumsi BBM non-subsidi mulai akhir Oktober 2014. Ada risiko keresahan sosial, polemik, aksi protes, atau politisasi oleh sejumlah kalangan di DPR.  
Tetapi pasca Oktober 2014 itu sudah bukan lagi era SBY, tetapi era pemerintahan baru di bawah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla. Jika SBY menaikkan harga BBM sekarang, beban fiskal buat pemerintahan baru di bawah Jokowi-JK akan berkurang. Jokowi-JK butuh ruang fiskal untuk menerapkan program-program ekonomi dan janji-janji masa kampanye yang pro-rakyat. Namun jika SBY menunda-nunda kenaikan harga BBM dengan berbagai alasan, beban fiskal akan meningkat dan tidak menyelesaikan masalah jebolnya kuota subsidi BBM.
Ini hanya menunda-nunda persoalan sehingga terakumulasi semakin besar. Pemerintah Jokowi-JK  yang mulai bertugas di penghujung Oktober akan dipaksa oleh situasi untuk menaikkan harga BBM, pada level persentase yang jauh lebih tinggi, dibandingkan jika pemerintah SBY sudah menaikkan atau �mencicil kenaikan� harga BBM lebih dulu sekarang.
Sebagaimana orang berutang, menunda cicilan utang tidak akan menuntaskan masalah, karena di ujung-ujungnya justru harus membayar cicilan pada tingkatan yang lebih besar. Itulah sebabnya sejumlah pengamat mengatakan, SBY meninggalkan �bom waktu� permasalahan subsidi BBM pada pemerintahan baru Jokowi-JK. SBY lebih mementingkan citra populer pemerintahannya ketimbang mengambil tindakan yang benar, dan bekerjasama dengan pemerintahan baru mengatasi masalah subsidi BBM.
Saya tidak sepakat dengan tudingan bahwa Jokowi-JK ingin mempertahankan �citra populer� dan hanya mau �terima bersih,� dengan mendesak pemerintah SBY agar menaikkan harga BBM atau mengurangi subsidi BBM sekarang. 
Pertama, harus diingat bahwa bahkan pada masa kampanye pemilihan presiden, Jokowi secara terbuka dan tegas mengatakan, ia akan mengurangi bahkan mengakhiri subsidi BBM di masa pemerintahannya. Artinya, sejak awal Jokowi tidak menjual popularitas murahan dengan memberi �angin surga� buat rakyat.
Pemerintah Jokowi-JK tidak akan mempertahankan harga BBM yang ada sekarang selama-lamanya. Itu jelas tidak rasional, tidak mungkin diterapkan karena sangat membebani anggaran negara, dan tidak mendidik buat rakyat. Oleh karena itu, jika pemerintahan Jokowi akan menaikkan harga BBM, hal itu bukan hal baru atau luar biasa, tapi sekadar mewujudkan janji masa kampanye.
Kedua, jika �popularitas� dan �pencitraan� menjadi problem yang dikhawatirkan pihak SBY, pihak Jokowi sebetulnya bisa menawarkan solusi. Misalnya, kenaikan harga BBM itu dideklarasikan sebagai hasil keputusan dan kesepakatan bersama antara Presiden SBY dan Presiden terpilih 2014-2019 Jokowi. Dengan demikian, kedua pihak �berbagi beban politik� bersama, demi suatu kebijakan yang oleh keduanya dianggap tepat untuk kebaikan rakyat di masa depan. Sayangnya, opsi bersama ini juga tidak dipilih oleh SBY.
Oleh karena itu, problem dan tantangan yang harus dihadapi pemerintahan baru Jokowi-JK, akibat kelambanan atau keengganan SBY memikul risiko dan bertindak tegas soal urgensi pengurangan subsidi BBM, menjadi semakin berat. 
Dijadikannya Menteri ESDN Jero Wacik sebagai tersangka pelaku korupsi oleh KPK tentu semakin membuat SBY enggan mengurangi subsidi BBM, mengingat citra pemerintahannya yang sudah terlanjur karut marut oleh skandal korupsi beberapa menterinya.
Di sisi Jokowi sendiri, kini sebagai seorang Presiden terpilih dan pemimpin nasional, ia dituntut untuk membuktikan kepemimpinannya, menghadapi krisis ysang sulit justru di awal pemerintahannya. Tidak ada waktu luang bagi Jokowi-JK untuk bersantai.
Tantangan seorang pemimpin bukanlah pada penanganan isu-isu dengan implikasi ringan yang disukai konstituen. Namun, seorang pemimpin sejati ditantang untuk berani mengambil tindakan penuh risiko yang diyakininya benar, demi kepentingan rakyat banyak, meskipun ia sadar bahwa tindakan itu tidak populer, bahkan di mata konstituennya sendiri.
Dalam hal kenaikan harga BBM, rakyat Indonesia sebetulnya bukannya tidak bisa diajak �berbagi beban� (baca: menderita). Sejarah membuktikan bahkan sejak perang kemerdekaan Republik Indonesia, rakyat Indonesia bersedia menanggung derita, dengan ikut melindungi para pejuang kemerdekaan dari pengejaran pasukan penjajah Belanda. Rakyat bahu-membahu memberikan pasokan logistik untuk para laskar gerilya, yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan Tentara Nasional Indonesia.
Rakyat bersedia berbagi beban demi kemaslahatan bangsa dan negara, asalkan mereka melihat ada semangat kebersamaan dan keadilan dalam �berbagi beban� itu. Mereka mau menanggung susah, asalkan pemerintah dan para pejabatnya juga menunjukkan sikap prihatin yang sama, seperti berperilaku hemat, mengurangi pengeluaran yang tidak urgen, tidak tampil bermewah-mewah, melakukan efisiensi menyeluruh, memberantas korupsi dan penyimpangan lain, dan seterusnya.
Oleh karena itu, rencana menaikkan harga BBM itu harus diimbangi dengan keseriusan dalam memberantas �mafia migas� dan berbagai perilaku korupsi yang merajalela di bisnis migas. Hal-hal semacam ini sudah dipahami oleh Jokowi. Penetapan tersangka korupsi oleh KPK pada Jero Wacik adalah satu contoh, yang harus ditindaklanjuti dengan tindakan tegas lain dalam pemberantasan korupsi.
Program-program kompensasi buat rakyat kecil, yang nafkah hidupnya akan terganggu akibat kenaikan harga BBM itu, juga harus disusun secara jelas, terarah, terukur, dan transparan.  Jika hal-hal ini dilakukan secara serius dan konsisten oleh pemerintah baru Jokowi-JK, rakyat akan menerima kenaikan harga BBM sebagai realitas yang memang perlu dan tidak terhindarkan.
Kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang diakui memang kurang menyenangkan, tetapi harus ditanggung bersama demi kebaikan bersama. Tanpa pendekatan �kebersamaan dengan rakyat� semacam ini, kenaikan harga BBM hanya akan menjadi kebijakan tidak populer, dan bahan mainan para politisi yang mencari popularitas murahan. Dan yang terburuk, ia juga tidak memberi nilai lebih buat kepentingan rakyat dan buat kepentingan nasional.
Dalam dua bulan terakhir ini, kita tidak bisa berharap lebih banyak pada rezim SBY. SBY sudah memutuskan untuk �main aman� sampai berakhirnya masa jabatan, Oktober mendatang. Kini harapan bertumpu pada Jokowi-JK. Semoga Jokowi-JK sanggup memikul beban tanggung jawab itu!
(Satrio ArismunandarDoktor Ilmu Pengetahuan Budaya dari UI dan kandidat Komisioner KPK)
Source : http://www.nefosnews.com/post/opini/bom-waktu-dan-tantangan-buat-pemerintah-baru-jokowi-jk

Wednesday, September 10, 2014

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?

ANDI IRAWAN (DOSEN UNIVERSITAS BENGKULU)

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?

Koalisi. Tema ini merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu legislatif 9 April yang lalu. Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi ini, menurut saya, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan publik.
Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam lingkup public interest, bukan elite interest. Saya kira penting bagi media cetak ataupun elektronik, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa, dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi dari sejumlah kekuatan politik. Diduga kuat mereka akan tampil dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Jadi, yang perlu dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu utama koalisi tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu. Tidak pula boleh dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa bergabung kepada partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon wakil presiden dan calon presiden 9 Juli nanti. Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya dengan kepentingan publik.
Kita harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi ekspektasi positif tentang Indonesia selama 2014-2019. Sebagai contoh, apa kontribusi koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam aspek kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat dan penurunan angka kemiskinan yang subtansial? Perlu disadari, garis kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang sesungguhnya.
Garis kemiskinan yang disepakati oleh dunia internasional adalah penghasilan US$ 2 per hari per kapita, sedangkan kita menggunakan angka sekitar US$ 1 per hari per kapita. Parameter internasional harusnya berani ditetapkan sebagai garis kemiskinan nasional guna menentukan angka kemiskinan. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang terjadi benar-benar keberhasilan subtansial yang diakui dunia, bukan keberhasilan yang bersifat pencitraan. Pemerintah selama ini bias pada pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap masalah keadilan ekonomi.
Kita memang telah termasuk dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Tapi hal itu menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati kue pembangunan Indonesia itu sebenarnya tidak proporsional. Ada 10 persen penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank Dunia pada 2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional. Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan ekonominya paling tinggi dari 150 negara yang disurvei.
Tidak mengherankan jika kemudian angka indeks Gini juga semakin melebar dari 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada 2011, apalagi kalau dibandingkan pada era Orde Baru yang sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin di era Reformasi ini semakin melebar.
Ketimpangan (kesenjangan) ekonomi, ditambah dengan semakin sulitnya akses rakyat miskin terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, adalah bahaya laten yang bukan saja bisa menimbulkan goncangan sosial. Seperti yang dikemukakan Stiglitz, dalam bukunya, The Price of Inequality (2012), hal ini menjadi sesuatu yang bisa menghancurkan demokrasi itu sendiri. Pemerintah di masa mendatang harus berani mengambil sikap politik yang impelementatif dalam mengatasi masalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan menurunkan angka kemiskinan yang subtansial.
Untuk itu, DPR dan pemerintah periode 2014�2019 (hasil koalisi yang terbentuk) harus berani menjadikan angka penurunan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi paremeter penting pembangunan, yakni dengan cara memasukkan parameter-parameter tersebut menjadi asumsi dasar dan target penting dalam APBN. Belum ada satu pemerintah pun pada era Reformasi ini yang berani menjadikan penurunan kesenjangan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan signifikan sebagai kemauan politik (political will) dalam APBN yang mereka susun.
Masyarakat madani perlu mengedukasi para pemilih untuk memaksa para politikus yang bermanuver tentang koalisi calon presiden agar tidak sekadar berbicara tentang siapa mendukung siapa dan mendapat apa, tapi bagaimana koalisi itu memberi ekspektasi tentang Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera. Bahkan, sebaliknya, kekuatan-kekuatan politik yang hanya mempertontonkan koalisi yang sarat dengan kepentingan elite layak dihukum. Caranya adalah dengan tidak memilih kekuatan koalisi tersebut dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti.

Source : http://pemilu.tempo.co/read/analisa/32/Koalisi-untuk-Kepentingan-Siapa